Apakah Ada Kewajiban Lain pada Harta Selain Zakat?

Pentingnya Pembahasan Ini
Pembahasan ini penting karena menjadi landasan bagi para ulama dalam menjawab pertanyaan: bolehkah mewajibkan kewajiban harta selain zakat kepada seorang muslim, seperti pajak?
Kalau pendapat yang terkuat menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atas harta seorang muslim selain zakat. Maka bila seseorang telah menunaikan zakat, kemudian negara atau kerajaan (termasuk khilafah) mewajibkan pajak atas hartanya, maka itu dianggap sebagai tindakan zalim karena mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat.
Praktik Sejarah Islam
Oleh karena itu, dalam khilafah-khilafah Islam terdahulu, ketika negara mengalami defisit anggaran—misalnya untuk pembiayaan perang—pemerintah hanya menganjurkan rakyat untuk berdonasi. Mereka tidak mengambil paksa harta rakyat. Zakat berbeda, karena memang diperintahkan untuk dipungut secara resmi. Kecuali dalam keadaan darurat, seperti jika dana donasi tidak mencukupi untuk kebutuhan penting negara, barulah bisa diberlakukan pungutan tambahan secara terbatas.
Adapun pajak yang berlaku secara terus-menerus, perlu ditinjau kembali pada prinsip awal: apakah ada kewajiban pada harta selain zakat?
Dalil Utama: Hadits Orang Najd
Tidak ada kewajiban pada harta selain zakat. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata:
Seorang laki-laki dari penduduk Najd datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan rambutnya kusut. Suaranya terdengar bergemuruh, tetapi tidak dipahami apa yang ia katakan hingga ia mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam.
Dialog tentang Shalat
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lima salat dalam sehari semalam.” Orang itu bertanya, “Apakah ada kewajiban lain atas diriku selain itu?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mengerjakan yang sunnah.”
Dialog tentang Puasa
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dan puasa Ramadhan.” Orang itu kembali bertanya, “Apakah ada kewajiban lain atas diriku selain itu?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mengerjakan yang sunnah.”
Dialog tentang Zakat
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan zakat. Orang itu bertanya lagi, “Apakah ada kewajiban lain atas diriku selain itu?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau mengerjakan yang sunnah.”
Kesimpulan Dialog
Lalu laki-laki itu berpaling sambil berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menambah atas hal ini dan tidak akan menguranginya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: “Sungguh dia akan beruntung jika dia jujur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Implikasi Hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban atas harta selain zakat. Karena yang selainnya adalah sedekah sunnah. Adapun kewajiban yang tetap harus dibayarkan dalam keadaan apa pun adalah zakat.
Perbandingan Zakat dan Pajak
- Zakat: Bahkan jika seseorang tidak membayar zakat selama empat puluh tahun, kewajiban itu tetap melekat
- Pajak: Jika ia tidak membayar pajak selama bertahun-tahun, tidak ada dosa atasnya dari sisi syariat. Adapun jika negara menjatuhkan sanksi administratif, maka itu merupakan urusan negara, bukan ketentuan dari syariat
Kisah Abu Dzar dan Perbedaan Pendapat
Riwayat dari Al-Bukhari
Ketika Al-Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata:
Aku pernah melewati Ar-Rabdzah (150 Km dari Madinah), lalu aku melihat Abu Dzar di sana. Maka aku pun bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tinggal di tempat ini?”
Penyebab Konflik dengan Mu’awiyah
Ia menjawab: “Aku dahulu berada di Syam, lalu aku berselisih pendapat dengan Mu’awiyah mengenai ayat:
…وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ…
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah…” (QS. At-Taubah[9]: 34)
Mu’awiyah berkata: ‘Ayat ini turun mengenai Ahli Kitab.’ Maka aku katakan: ‘Ayat ini turun mengenai kita dan mereka.’ Maka terjadi perselisihan antara aku dan dia tentang hal itu.
Konsekuensi Perselisihan
Lalu ia menulis surat kepada Utsman mengadukanku, maka Utsman menulis surat kepadaku, memintaku untuk datang ke Madinah. Maka aku pun datang ke Madinah, dan orang-orang datang menemuiku begitu banyak, seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya.
Aku menyampaikan hal itu kepada Utsman, maka ia berkata kepadaku: ‘Jika engkau mau, pergilah ke tempat yang agak jauh, namun tetap dekat (dengan Madinah).’ Maka inilah tempat yang membuatku tinggal di sini.
Dan seandainya mereka mengangkat atas diriku seorang dari Habasyah (Ethiopia), niscaya aku akan mendengar dan taat (selama itu bukan maksiat).”
Kesimpulan dari Kisah Abu Dzar
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa mayoritas para sahabat senior pada masa Utsman menyelisihi pendapat Abu Dzar yang mengharamkan pengumpulan harta (tidak boleh menabung).
Abu Dzar tidak dicela karena pendapatnya, namun tidak pula diwajibkan bagi umat untuk mengikutinya. Karena dalam syariat, menyimpan harta dibolehkan selama zakatnya ditunaikan. Maka boleh seseorang memiliki tabungan 1 miliar, 10 miliar, bahkan 1 triliun, selama zakat telah dikeluarkan.
Dalil dari Para Sahabat
Ibnu Abbas RA
Sebagaimana juga telah tsabit dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata:
من أدى زكاة ماله فلا جناح عليه أن لا يتصدق
“Barangsiapa yang telah menunaikan zakat hartanya, maka tidak ada dosa atasnya jika tidak bersedekah (sunnah).”
Jabir bin Abdillah RA
Dan dari Jabir bin Abdillah bahwa ia berkata:
إذا أخرجت صدقة مالك فقد أذهبت شره ، وليس بكنز
“Jika kamu telah mengeluarkan zakat hartamu, maka kamu telah menghilangkan keburukannya, dan itu tidak dianggap sebagai harta yang ditimbun (kanz).”
Ijmak Mayoritas Sahabat
Berarti, antara Jabir, Mu’awiyah, dan ‘Utsman Radhiyallahu ‘Anhum, pendapat mereka sama. Sedangkan Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu memiliki pendapat yang berbeda sendiri.
Mayoritas ulama berpandangan bahwa larangan menyimpan harta yang disebutkan dalam ayat tersebut telah dihapus dengan kewajiban zakat. Sesuai yang telah dijelaskan maknanya pada pembahasan sebelumnya.
Penjelasan Ibnu Umar RA
Hal ini juga sesuai dengan riwayat yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari dari sahabat Khalid bin Aslam, bahwa beliau berkata:
“Kami keluar bersama ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Lalu ada seorang lelaki berkata, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah,”
Maka berkata Ibn ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma: “Barang siapa yang menimbunnya (emas dan perak), lalu tidak menunaikan zakatnya, maka celakalah dia. Sesungguhnya ayat ini turun sebelum zakat diwajibkan. Ketika zakat telah diturunkan (diwajibkan), Allah menjadikannya sebagai pensuci harta.
Dalil Ayat Tathir (Penyucian)
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 103)
Maka, zakat adalah pembersih harta. Jika seseorang telah menunaikannya, maka ia tidak termasuk dalam ancaman ayat yang sebelumnya.
Pengecualian dalam Kondisi Darurat
Dikecualikan dari hukum sebelumnya—yakni bahwa tidak ada kewajiban atas harta selain zakat—adalah dalam kondisi tertentu, yaitu ketika terjadi peristiwa atau kebutuhan mendesak dari kaum fakir yang sangat besar. Dalam kondisi semacam ini, dikhawatirkan jika kebutuhan mereka tidak dipenuhi, akan muncul kebinasaan atau kematian.
Contoh Kondisi Darurat
1. Pandemi
Misalnya, seseorang sudah menunaikan zakat mal, namun terjadi kondisi luar biasa seperti saat pandemi. Ketika itu, orang tidak bisa bergerak ke mana-mana. Kalaupun bergerak, ia mengkhawatirkan jiwanya akan mati. Sementara itu, banyak tetangganya yang pendapatan dan tabungannya tidak cukup bahkan untuk satu bulan.
Dalam kondisi seperti ini, bagi seorang tetangga yang kaya, yang telah menunaikan zakat dan masih memiliki tabungan besar — misalnya masih memiliki tabungan 30 miliar rupiah — maka tetap wajib memberikan nafkah kepada tetangganya. Ini adalah pengecualian.
2. Bencana Alam
Misalnya juga seseorang sudah menunaikan zakat, tetapi qadarullah terjadi musibah seperti banjir atau gempa di sekitarnya. Sementara itu, Allah selamatkan dirinya dan hartanya.
Maka orang kaya disana wajib membantu dan mengeluarkan harta. Tidak bisa seseorang berkata, “Saya sudah berzakat, ya Allah.” Tidak begitu.
3. Fardu Kifayah
Begitu juga hal-hal yang bersifat fardu kifayah, seperti yang telah dicontohkan sebelumnya—ketika ada ancaman dari musuh dan kondisi keuangan negara tidak mencukupi, maka dalam keadaan seperti ini bisa menjadi kewajiban, walaupun seseorang telah menunaikan zakatnya.
Prinsip Pengecualian
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy-Syathibi dalam pembahasan tentang penarikan pajak, bahwa jika terdapat suatu kepentingan yang apabila tidak dipenuhi akan merusak kehidupan bernegara, maka boleh diambil dana tambahan dari rakyat.
Namun, sifatnya insidental, bukan menjadi pendapatan tetap negara. Karena yang namanya pengecualian tidak bisa dijadikan sebagai standar umum atau SOP.
Analogi Pengecualian
Ibaratnya seperti anak sekolah yang sedang sakit—dalam kondisi seperti itu, mungkin dia tidak bisa mengikuti proses belajar-mengajar. Maka, anak tersebut dikecualikan. Tapi apakah kemudian pengecualian itu bisa digeneralisasi untuk semua siswa agar tidak perlu belajar dan tetap lulus? Tentu tidak.
Namanya juga pengecualian, hanya berlaku jika kondisi yang sama terjadi.
Kritik terhadap Pajak Permanen
Namun bila tidak masuk dalam konsep bernegara yang bertujuan agar negara itu mandiri dan tidak membebani rakyat, maka itu bukan lagi disebut pengecualian. Itu sudah menjadi gaya hidup bernegara, di mana negara hanya menarik pajak dari rakyatnya sepanjang masa.
Kesimpulan
- Tidak ada kewajiban pada harta selain zakat (pendapat jumhur ulama)
- Hadits orang Najd jelas menunjukkan prinsip ini
- Menyimpan harta dibolehkan selama zakat ditunaikan
- Mayoritas sahabat sepakat dengan prinsip ini (vs pendapat Abu Dzar)
- Zakat adalah pembersih harta yang menghapus larangan menimbun
- Pengecualian hanya dalam kondisi darurat yang bersifat insidental
- Pajak permanen bertentangan dengan prinsip syariat Islam
- Pengecualian tidak boleh dijadikan aturan umum
- Negara seharusnya mandiri tanpa membebani rakyat secara permanen
- Zakat sudah cukup sebagai sistem redistribusi harta dalam Islam
Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, Lc., M.A.
(Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZ Rabbani)
Bagikan Artikel
Tags
Artikel Terkait

Zakat Harta yang Habis karena Zakatnya dan Harta Gadaian
Hukum Zakat Harta yang Habis karena Zakatnya Prinsip Dasar Apabila seseorang wajib mengeluarkan zakat sebesar 1.000…

Hukum Zakat Harta yang Dijual dan Tidak Hadir
Prinsip Dasar Zakat Harta yang Dijual Siapa yang melakukan transaksi jual beli atas harta yang wajib…

Zakat yang Belum Ditunaikan Bertahun-Tahun (Qadha Zakat)
Prinsip Dasar Qadha Zakat Siapa yang belum menunaikan zakat beberapa tahun, maka ia wajib menunaikan zakat…