Zakat Fitrah Pakai Beras?

Dari sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَرَضَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِن تَمْرٍ، أوْ صَاعًا مِن شَعِيرٍ علَى العَبْدِ والحُرِّ، والذَّكَرِ والأُنْثَى، والصَّغِيرِ والكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وأَمَرَ بهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إلى الصَّلَاةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fitrah di bulan Ramadhan sebanyak satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum, atas setiap orang yang merdeka atau budak, laki-laki maupun wanita dari kalangan kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum manusia keluar untuk shalat Id.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jenis makanan yang dikeluarkan untuk Zakat Fitrah disebutkan dalam hadits, yaitu:

  1. Tamr (kurma) dengan berbagai varietasnya.
  2. Sya’ir (gandum jenis sereal).

Walaupun hadits Ibnu Umar hanya menyebutkan dua jenis ini, hadits lain, seperti hadits Abu Sa’id Al-Khudri, menyebutkan jenis makanan pokok lain yang berlaku di suatu daerah.

Diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah berupa al-bur (gandum) -dan ini merupakan kesepakatan ahlul ilmizabib (kismis), tamr (kurma), dan al-aqith (susu unta kering).

Al-Aqith (susu kering) tersebut berbentuk padatan (petak-petak), bukan bubuk seperti di Indonesia. Susu unta segar diperah, dimasukkan ke dalam wadah kulit atau kantong, lalu ditaruh di dalam pasir di bawah panas matahari sehingga cepat mengering dan dapat disimpan tahan lama.

Diperbolehkan pula mengeluarkan zakat dari sya’ir (sereal). Ini merupakan pendapat jumhur ulama, selama semua jenis makanan itu adalah makanan pokok penduduk negeri.

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Said Radhiyallahu ‘Anhu, di mana beliau berkata:

كُنَّا نُخْرِجُ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ، حُرٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ، صَاعًا مِنَ الطَّعَامِ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

“Dahulu kami biasa mengeluarkan zakat fitrah, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada di antara kami, atas setiap anak kecil dan dewasa, orang merdeka atau budak, satu sha’ makanan, atau satu sha’ sereal, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ aqith (susu unta kering), atau satu sha’ kismis.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Satu sha’ dari makanan harus dikeluarkan, dan jenis makanan itu telah dirinci. Pada waktu itu, makanan pokok tersebut adalah yang biasa dikonsumsi oleh mereka. Menurut pendapat jumhur ulama, apabila salah satu atau lebih dari kelima jenis makanan yang disebutkan (gandum, sereal, kurma, kismis, dan aqith) bukan merupakan makanan pokok penduduk negeri, maka tidak mesti menggunakan kelima jenis itu.

Kelima jenis makanan itu disebutkan karena dikeluarkan pada masa kenabian (nubuwah) dan merupakan makanan pokok penduduk Hijaz pada waktu itu. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Said al-Khudri Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di mana ia berkata:

وَكَانَ طَعَامُنَا

“Dan adalah makanan pokok kami pada waktu itu—disebutkanlah lima jenis itu.”

Menurut jumhur ulama, apabila makanan pokok penduduk suatu negeri (ahlul balad) bukan lagi kelima jenis makanan tersebut, maka tidak mesti menggunakan lima jenis tersebut. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dari sya’ir (sereal), kismis, atau aqith (susu kering) di tempat yang memang bukan makanan pokok penduduk negeri tersebut.

Pada zaman sekarang, di sebagian negeri-negeri yang kaya, kelima jenis makanan yang disebutkan dalam hadits tadi bukan lagi makanan pokok negeri tersebut. Bahkan, beberapa jenis seperti aqith (susu kering) dan zabib (kismis) hanya digunakan untuk camilan dan sejenisnya. Sementara sebagian jenis lain, seperti sereal (sya’ir), digunakan sebagai pakan hewan.

Zakat Fitrah di Indonesia Menggunakan Beras?

Lalu, bagaimana jika di Indonesia, masyarakat tidak lagi menjadikan lima jenis makanan itu sebagai makanan pokok? Apabila seseorang membeli kismis, sereal, atau gandum, lalu memberikannya kepada fakir miskin, kemungkinan besar penerima akan kebingungan. Oleh sebab itu, menurut pendapat yang mengecualikan (jumhur), zakat tersebut tidak sah karena tidak memenuhi fungsi sebagai makanan pokok.

Namun, menurut Syaikkh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, nash (teks hadits) menyatakan bahwa zakat itu sah dikeluarkan. Hal ini terkait dengan ilmu Ushul Fikih yang membahas ta’arudh (pertentangan) antara dalalatul lafdzi wal qasdi, yaitu bertenturannya antara makna yang ditunjukkan oleh lafaz hadits dengan tujuan (maksud) syariat itu sendiri. Hal ini pernah menjadi topik disertasi di Universitas Al-Imam (Universitas kita, yaitu Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud).

Apabila terjadi pertentangan antara petunjuk lafadz dengan tujuan syariat (yaitu mencukupi kebutuhan makan pokok fakir miskin pada Hari Raya). Lafadz hadits menyebutkan jenis makanan yang dikeluarkan, yaitu gandum, sereal, kurma, kismis, dan aqith (susu unta kering). Dengan merujuk pada lafaz ini, sebagian ulama berpendapat bahwa mengeluarkannya adalah sah.

Namun, bila diterapkan di Indonesia, lafaz hadits ini dapat bertentangan dengan tujuannya. Bukankah tadi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda bahwa zakat fitrah bertujuan untuk “makanan bagi orang-orang miskin”? Sedangkan di Indonesia, lima jenis makanan tersebut bukan makanan pokok. Jika kismis atau susu unta kering diberikan, mungkin hanya akan menjadi camilan. Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kismis dan susu kering itu adalah makanan pokok yang dikonsumsi hingga menguatkan badan. Mereka memakannya seperti mengonsumsi nasi.

Lalu, mana yang harus didahulukan bila terjadi pertentangan antara lafaz hadits dengan tujuan syariat? Sebagian ulama, seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, berpendapat bahwa zakat tetap sah dikeluarkan berdasarkan lafadz.

Oleh karena itu, dahulu ada sebagian pihak yang mengeluarkan makaroni atau pasta sebagai zakat, karena ada ulama yang mengatakan bahwa pasta dan makaroni kini sudah menjadi makanan pokok dan diperbolehkan. Jenis lain yang dikeluarkan adalah kismis dan susu—biasanya susu bubuk biasa, bukan lagi susu unta kering—yang diperbolehkan pula dalam bentuk tepung atau yang sudah diolah menjadi kue.

Zakat boleh dikeluarkan dalam bentuk tepung atau yang sudah diolah menjadi kue. Jika beras diolah menjadi lontong, hal itu diperbolehkan. Syaratnya, takaran sha’ yang digunakan adalah sha’ biji-bijian, bukan takaran setelah diolah dan ditambahkan air. Jika seseorang membuat lontong dari 3 liter beras (satu sha’) dan memberikannya kepada satu fakir miskin, hal itu diperbolehkan.

Lihat juga: Program Zakat Fitrah

Ditrankrip oleh Tim LAZ Rabbani dari kajian Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi | Tashilul Fiqh Kamis, 27 Ramadhan 1446 H / 27 Maret 2025 M.

Bagikan Artikel

Artikel Terkait

Siapa Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah? Zakat fitrah wajib dikeluarkan atas setiap muslim dan muslimah, baik…

Ukuran zakat fitrah adalah satu sha’ dari bur (gandum), atau dari sereal (sya’ir), atau dari tepung…

Disunahkan mengeluarkan zakat fitrah pada hari Id sebelum shalat. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar…

Perdalam Ilmu Zakat dan Fiqh Muamalah, Langganan Sekarang!

Subscription Form
Scroll to Top