Hadits Manajemen 3: Memberikan Kemudahan dalam Bermuamalah

Hadits ketiga pada kitab Al-Arbaun Al-Idariyah ini berkaitan dengan kemudahan dalam bermuamalah. Umat Islam dianjurkan untuk memudahkan urusan orang lain dan tidak menyulitkan dalam interaksi sosial dan pekerjaan.

Hadits ini diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَلا أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلى النَّارِ؟ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ تَحْرُمُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ، هَيِّنٍ، ليِّنٍ، سَهْلٍ

“Maukah kalian aku kabarkan tentang orang yang haram baginya neraka, atau neraka haram atasnya? Neraka itu haram bagi setiap orang yang dekat (qarib), mudah (hayyin), lembut (layyin), dan gampang (sahl).” (HR. At-Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al-Albani).

Tentunya kita semua ingin jauh dari api neraka dan diselamatkan oleh Allah sehingga masuk ke surga. Kita semua yakin bahwa tidak akan sanggup menahan panasnya api neraka.

Ulama menjelaskan makna dari sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits tersebut:

  • Qarib (Dekat): Maksudnya adalah orang yang dekat dengan manusia, sering bermajelis dengan mereka, dan berlemah lembut dengan mereka, tidak menyendiri.
  • Hayyin, Layyin, Sahl (Mudah, Lembut, Gampang): Sifat-sifat ini saling menguatkan, menekankan bahwa orang tersebut adalah orang yang memudahkan dan lemah lembut, bukan orang yang mempersulit. Ini adalah penekanan tentang kemudahan dalam bermuamalah.

Anjuran dalam Pelayanan

Berdasarkan hadits di atas, ulama menyebutkan adanya anjuran untuk:

  1. Berlemah Lembut: Berlemah lembut dalam bermuamalah dengan manusia.
  2. Memudahkan Urusan: Memudahkan hajat dan kebutuhan mereka. Bagi pegawai yang mengurus urusan manusia di instansi mana pun, hendaknya ia memudahkan urusan, tidak menunda, dan tidak menyulitkan pelayanan atau muamalah mereka.

Ibrahim An-Nakha’i Rahimahullah berkata:

إذا تخالجك أمـران فظن أن أحبهما إلى الله أيسرهما

“Apabila kalian dihadapkan dengan dua perkara, maka sesungguhnya yang paling dicintai oleh Allah dari keduanya adalah yang paling mudah.”

Mengambil yang mudah adalah sesuai dengan ajaran Islam, tidak sepantasnya mengambil yang sulit. Bukan sebaliknya, mencari kesusahan di saat ada kemudahan.

Asy-Sya’bi Rahimahullah berkata:

إذا اختلف عليك أمران، فإن أيسرهما أقربهما إلى الله

“Apabila dihadapkan dengan dua perkara, maka perkara yang paling mudah dari dua perkara itu adalah yang lebih mendekatkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

Yang paling dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang paling mudah. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

…يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…

“Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan atau kesusahan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah[2]: 185)

Manajemen Islam sangat luar biasa. Jika tersedia kemudahan, tidak perlu mencari kesusahan. Kemudahan ini tertuang dalam hukum syariat. Hukum syariat sangat memperhatikan kondisi para mukallaf (orang yang dibebani hukum), kondisi, dan keadaan mereka.

Hukum-hukum syariat memberikan perhatian besar terhadap kondisi hamba, yang dilihat dari berbagai sisi:

  1. Sehat dan Sakit: Kondisi orang sehat dan sakit diperlakukan berbeda.
  2. Mukim dan Safar: Islam memberikan kemudahan saat dalam perjalanan (safar), misalnya, salat empat rakaat diringkas menjadi dua rakaat (qashar).
  3. Keadaan Terdesak: Adanya kaidah yang menyatakan bahwa keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang (adh-dharuratu tubihul-mahzhurat).

Sebagai contoh, jika seseorang berada di suatu tempat tanpa makanan dan dikhawatirkan meninggal jika tidak makan, padahal yang tersedia hanya daging yang diharamkan, maka boleh memakan yang haram tersebut. Hukum asalnya adalah haram, tetapi ketika darurat diperbolehkan. Ini menunjukkan betapa Islam memberikan kemudahan.

Setelah tauhidullah (mengesakan Allah), ibadah yang paling besar dan tinggi kedudukannya adalah shalat yang wajib. Waktu shalat wajib telah ditetapkan dan diikat dengan indikator alam, seperti terbit fajar, tergelincirnya matahari ke arah barat yang menandakan masuknya waktu zuhur, serta terbit dan terbenamnya matahari.

Kemudahan dalam shalat juga terlihat dalam penentuan arah kiblat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Tirmidzi)

Ini memudahkan ketika tidak dapat melihat Ka’bah, cukup menghadap ke arah atau jurusan Ka’bah. Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman:

Ayat lain yang berkaitan dengan pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah di Makkah adalah:

…فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ…

“Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah wajahmu ke arah itu.” (QS. Al-Baqarah[2]: 144)

Ayat ini menegaskan bahwa yang dituntut adalah menghadap ke arah Masjidilharam, tidak harus mengenai Ka’bah secara tepat. Apabila terjadi perselisihan mengenai ketepatan arah kiblat sampai harus diubah, kalau memang tidak terjadi kesepakatan, ulama menghukumi bahwa shalatnya tetap sah. Ini tidak perlu dipersulit, karena Islam menghendaki kemudahan.

Dalam masalah thaharah (bersuci), apabila air mencapai dua kullah (ukuran volume), maka air tersebut tidak dihukumi mengandung najis. Jika sulit menggunakan air, diperbolehkan berpindah pada tayamum. Ini semua dalam rangka memberikan kemudahan.

Dalam shalat, seorang muslim shalat dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu maka boleh duduk, dan jika tidak mampu lagi maka boleh berbaring. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا…

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah[2]: 286)

Hukum syariat Islam benar-benar memberikan perhatian besar terhadap masalah kemudahan ini.

Teladan Kelembutan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Contoh teladan utama adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Akhlak kelemahlembutan ada pada diri beliau, bahkan tidak tertandingi.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadapi umatnya dan seluruh makhluk Allah ‘Azza wa Jalla dengan kelemahlembutan, sehingga beliau mampu menarik dan menundukkan hati mereka. Dengan kelemahlembutan beliau, hati mereka berkumpul dalam kecintaan kepada beliau, mendahulukan beliau di atas diri, harta, keluarga, dan anak mereka. Baik orang terdekat maupun orang yang jauh, mukmin maupun kafir, mengakui kelembutan, kemudahan hidup, dan muamalah beliau yang mudah dan tidak menyulitkan manusia.

Berlemah lembut dalam semua urusan, khususnya saat berinteraksi dan mempermudah urusan orang lain, merupakan pintu akhlak Islam yang terbesar dan teragung. Sifat ini bahkan merupakan sifat kesempurnaan tertinggi yang dengannya para pemimpin besar dapat menguasai hati manusia. Dia akan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan pahala atas kelembutan tersebut, sesuatu yang tidak Dia berikan kepada selainnya.

Pemilik sifat lemah lembut pasti akan dekat dengan manusia. Sifatnya tenang, mudah, penyayang, dan yang terpenting, dia diharamkan dari api neraka. Dengan demikian, neraka adalah tempat bagi orang-orang yang kasar dan keras hati.

Hadits ini mengajak orang beriman yang mengharapkan kemenangan surga dan keselamatan dari api neraka untuk berendah hati di hadapan kaum mukminin, berlemah lembut, mempermudah urusan mereka, dan memudahkan muamalah dengannya.

Sifat kelemahlembutan ini adalah bagian dari akhlak mulia Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu pernah menceritakan:

“Aku pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau mengenakan selendang dari Najran yang kasar. Tiba-tiba seorang Arab Badui datang dan langsung menarik selendang beliau dengan sangat keras. Aku melihat bekas tarikan selendang itu membekas di leher beliau.”

Arab Badui itu berkata dengan seenaknya, “Wahai Muhammad, perintahkanlah agar aku diberi dari harta Allah yang ada padamu!”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak marah. Beliau menoleh kepada Arab Badui itu, kemudian tersenyum, lalu memerintahkan agar orang tersebut diberi apa yang dia minta.

Sifat ini juga menjadi akhlak para salaf. Kisah Ibrahim bin Adham Rahimahullah menjadi contoh. Suatu ketika, Ibrahim bin Adham berjalan dan bertemu dengan seorang Yahudi yang membawa anjing.

Orang Yahudi itu berkata, “Wahai Ibrahim, apakah janggutmu ini lebih suci daripada ekor anjingku, ataukah ekor anjingku yang lebih suci daripada janggutmu?”

Ibrahim bin Adham menjawab dengan lembut, “Jika janggutku nanti masuk surga, tentu ia lebih suci daripada ekor anjingmu. Tetapi, jika ia masuk neraka, maka ekor anjingmu lebih suci daripada janggutku.”

Mendengar jawaban yang penuh hikmah dan kelembutan tersebut, orang Yahudi itu seketika bersyahadat masuk Islam.

Kemuliaan akhlak, termasuk berlemah lembut kepada manusia, merupakan ajaran penting dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi kunci keberhasilan dalam berdakwah.

Ancaman Bagi yang Menyulitkan

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan ancaman dan doa bagi siapa pun yang diberi amanah untuk mengurus umat:

اللهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ.

“Ya Allah, siapa pun yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan siapa pun yang mengurusi urusan umatku, lalu dia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepada dia.” (HR. Muslim)

Ini adalah ancaman tegas bagi siapa pun yang menyulitkan urusan orang lain. Orang yang menyusahkan akan mendapatkan balasan kesusahan.

Memegang suatu amanah, kemudian menyusahkan urusan orang lain, bukanlah perkara yang ringan. Balasan pasti akan setimpal dengan perbuatan. Allah ‘Azza wa Jalla sendiri yang akan mendatangkan kesusahan bagi pelakunya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada istrinya, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:

يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ

“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut (Penuh Kasih Sayang). Dia mencintai kelembutan dalam semua urusan.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَيْهِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut (Penuh Kasih Sayang), Dia mencintai kelembutan, dan Dia memberikan atasnya (kelembutan) apa yang tidak Dia berikan atas kekasaran.” (HR. Muslim)

Hal ini merupakan doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memohon ar-rifq (kasih sayang dan kelemahlembutan) bagi orang yang berlemah lembut kepada kaum mukminin. Sebaliknya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan kesusahan bagi orang yang menyusahkan urusan kaum mukminin, membuat mereka berat, dan kelelahan.

Maka dianjurkan untuk berlemah lembut dan mempermudah urusan manusia, bukan menyusahkannya. Orang yang memiliki sifat kelemahlembutan akan dijauhkan dari neraka. Sebaliknya, orang yang menyusahkan urusan orang lain adalah orang yang dekat dengan neraka.

Ditrankrip oleh Tim LAZ Rabbani dari kajian Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. Hafidzahullah | Kajian pada Senin, 10 Safar 1447 H / 4 Agustus 2025 M. Video kajian: YouTube LAZ Rabbani

Bagikan Artikel

Artikel Terkait

Hadits keempat pada kitab Al-Arbaun Al-Idariyah berkaitan dengan menjaga kehormatan dalam mencari harta. Umat Islam sangat…

Hadits kedua pada kitab Al-Arbaun Al-Idariyah ini berkaitan dengan “Menyempurnakan Pekerjaan (Profesionalisme) adalah Jalan Meraih Cinta…

Hadits pertama yang disampaikan penulis dalam kitab Al-Arbaun Al-Idariyah adalah hadits tentang ikhlas dalam bekerja. Hadits…

Perdalam Ilmu Zakat dan Fiqh Muamalah, Langganan Sekarang!

Subscription Form
Scroll to Top